Di era sekarang nonton film paling dominan ya di bioskop dan media streaming melalui internet. Menilik jauh kebelakang di Indonesia pernah tenar yang namanya Layar Tancap. Sebuah pertunjukan film di alam terbuka dengan layar yang tiangnya ditancapkan di tanah.
Mungkin sekarang sudah sulit dijumpai layar tancap. Karena sekarang hampir setiap daerah sudah mempunyai bioskop, mendapatkan film melalui rental dan ditonton lewat DVD sudah gampang, di internet sudah banyak situs-situs yang menyediakan nontot film streaming dan tentunya di beberapa stasiun tv sering memutar film yang pernah diputar di bioskop. Mungkin karena beberapa hal itulah masyarakat kurang minat dengan layar tancap.
Tapi menonton film di layar tancap ada keasikan dan sensai tersendiri karena diluar ruangan. Sekarang pun banyak pegiat film mengadakan tontonan layar tancap gratis untuk masyarakat. Filmnya pun lebih bervariatif, mulai dari film nasional samapai film lokal garapan pegiat film tersebut. Nah, melalaui program Festival Film Purbalingga 2017 (FFP 2017) yang digarap oleh Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga ada acara yang bertajuk Layar Tanjleb (tancap).
Layar Tanjleb merupakan acara pemutaran film di ruang terbuka, berkeliling desa seantero Banyumas Raya dan tahun ini merambah ke Kabupaten Kebumen. Bekerjasama dengan komunitas desa, karang taruna, serta kelompok masyarakat sipil lainnya, Layar Tanjleb hadir untuk memutarkan film-film pendek dan panjang dari Banyumas Raya dan Indonesia (clcpurbalingga.id). Layar Tanjleb pada FFP 2017 ini Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang menjadi tempat terselenggaranya acara tersebut. Bekerjasama dengan SMK Darunnajah Banjarmangu.
Layar tanjleb akan di adakan di SMK Darunnajah Banjarmangu.
Jl. Raya Karang Kobar, Km 7, Banjarmangu, Banjarnegara.
Pada Kamis, 20 Juli 2017 jam 19.30 WIB.
Acara ini gratis dan terbuka untuk umum.
Ada empat film yang akan diputar dalam acara ini, yaitu:
Ayo Main!
Bambang “Ipoenk” KM
Fiksi, 24 Menit, Pusbangfilm, 2016
Sekumpulan film pendek yang akan mengajak para penonton untuk tidak melupakan pentingnya interaksi sosial. Dunia anak yang penuh permainan tidak seharusnya tergantikan oleh perangkat elektronik yang membuat mereka menjadi penyendiri dan putus hubungan sosial.
Kukudan
Bowo Leksono
Fiksi, 12 Menit, Dinporabudpar Kab. Banyumas, 2016
Sanurji, pimpinan Sanggar Lengger Kamajaya menurunkan plang di depan pendapa tempat mereka berlatih, lantaran ia sudah tak mampu lagi mempertahankan idealisme berkesenian di tangah modernitas dan tindakan sewenang-wenang pihak luar.
Balada Bala Sinema
Yuda Kurniawan
Dokumenter, 90 Menit, Rekam Docs, 2017
Komunitas film Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga yang didirikan oleh Bowo Leksono sejak tahun 2006 telah mencetak banyak sineas muda dengan karya-karya yang berprestasi hingga di tingkat nasional. Tak hanya itu, CLC Purbalingga selama 10 tahun konsisten secara mandiri menggelar Festival Film Purbalingga, sebuah perayaan terhadap sinema ke tengah-tengah masyarakat dengan menggelar layar tancap di banyak desa di Banyumas Raya. Purbalingga memang jauh dari kemewahan serta hingar bingar industri film, tapi di kota itulah semangat untuk berkreatifitas tetap ada dan terus berlipat ganda. Sebuah dokumenter tentang cinta, ketangguhan, dan kesederhanaan mereka, sebuah kisah BALADA BALA SINEMA.
Turah
Wicaksono Wisnu Legowo
Fiksi, 83 Menit, Fourcolours Films, 2016
Kerasnya persaingan hidup menyisakan orang-orang kalah di Kampung Tirang. Mereka dijangkiti pesimisme dan diliputi perasaan takut. Terutama kepada Darso, juragan kaya yang telah memberi mereka ‘kehidupan’. Pakel, sarjana penjilat di lingkaran Darso dengan pintar membuat warga kampung makin bermental kerdil. Situasi tersebut memudahkannya untuk terus mengeruk keuntungan. Setitik optimisme dan harapan untuk lepas dari kehidupan tanpa daya hadir pada diri Turah dan Jadag. Peristiwa-peristiwa terjadi, mendorong Turah dan Jadag untuk melawan rasa takut yang sudah akut dan meloloskan diri dari narasi penuh kelicikan. Ini adalah usaha sekuat daya dari mereka, orang-orang di Kampung Tirang, agar mereka tidak lagi menjadi manusia kalah, manusia sisa-sisa.