Saat ini melihat perkembangan secara cepat dan pesatnya media informasi yang tak terfilterisasi dan tak terkendali. Kebudayaan asingpun sangat mempengaruhi baik sikap dan perilaku keseharian terutama generasi muda. Ketika tidak memiliki filterisasi berakibat terkikisnya kecintaan terhadap kebudayaan kearifan lokal. Dilansir pada jurnal.unismabekasi.ac.id, Februari 2018 tentang pengaruh penggunaan Gadget terhadap kemampuan interaksi sosial Siswa Sekolah Dasar, menyatakan bahwa bermain Gadget dengan durasi yang cukup panjang lebih dari 3 jam dan dilakukan setiap hari, bisa membuat anak berkembang kearah pribadi yang antisosial.
Hal ini sangat memprihatinkan bagi orang tua yang memiliki anak berusia Sekolah Dasar tentunya, bahkan orang dewasa juga sudah terkena dampak kecanduan Gadget tidak hanya hitungan menit bahkan sampai berjam-jam. Untuk itu kita harus segera melakukan pencegahan-pencegahan agar meminimalisir hal tersebut dengan pendekatan-pendekatan komunikasi kekeluargaan, berolahraga, perbanyak bersosialisasi dan juga kebijakan kurikulum sekolah yang mengarahkan perkembangan karakter peserta didik serta dengan memperbanyak kegiatan ekstrakurikuler yang bertajuk kearifan lokal atau kebudayaan daerah.
Budaya sering diartikan sebagai cara merasa, berfikir, serta bertindak. Era globalisasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam kehidupan bermasyarakat, tentu menuntut manusia untuk berfikir, bertindak rasional, efektif dan efisien. Oleh karena itu pentingnya menanamkan dan menumbuhkan rasa cinta budaya kearifan lokal mulai dari usia Sekolah Dasar.
Indonesia merupakan bangsa yang multikultural, karena terdiri dari berbagai suku bangsa dan budaya masing-masing dimana setiap daerah memiliki objek budaya yang berbeda satu dengan yang lain. Masing-masing daerah bisa menerapkan dan memperkuat pembelajaran bernuansa kearifan lokal. Seperti halnya SD Negeri 1 Glempang, Kecamatan Mandiraja, Banjarnegara, Jateng. Kepala Sekolah Ibu Sri Rahayu, S.Pd., mengatakan bahwa Sekolah yang telah dipimpinnya sudah menerapkan kurikulum 2013 yang banyak menyisipkan kearifan lokal dalam proses pembelajaran di kelas dengan menambah kegiatan ekstra yang bernuansa kearifan lokal seperti Rebana, Gamelan, Karawitan, dan Seni Tari Kuda Lumping (embeg). Kegiatan ini sangat positif untuk membekali anak-anak Sekolah Dasar untuk berani tanpa malu-malu mereka mau mempelajari, berlatih, mendalami dan melestarikan kebudayaan lokal. Dari sini akan tercipta komunikasi antar teman dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Contoh pada kegiatan diluar sekolah juga sudah berani tampil di beberapa tempat pariwisata yang ada di sekitar lokasi sekolah, seperti di tempat wisata lokal di Bukit Watu Sodong, Desa Glempang, Kec. Mandiraja pada acara Festival Dolanan Tradisional pada Kamis, 28 Februari 2019. Dengan kegiatan tersebut dapat menanamkan dan mengembangkan kreativitas anak yang tinggi. Keberanian dapat membawakan dan menampilkan Seni Budaya Lokal. Dengan kegiatan tersebuat diharapkan memperkuat karakter Siswa SD sehingga pada saat beranjak usia remaja dapat memperkuat karakternya sebagai Pemuda yang memiliki karakter kuat dan bangga akan kebudayaan bangsanya sendiri serta dapat memfilter pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kita.
Joss Wibisono, 2011 pernah menuliskan “Gamelan Menerobos Musik Klasik”. Dan pernah dilangsir pada sebuah blog Gatholotjo. Dalam tulisanya, Wibisono menyatakan bahwa lenggak-lenggok Bali untuk Mozart, serta gamelan Bali maupun gamelan Jawa juga termasuk musik klasik. Dituliskan juga nama komponis-komponis barat yang terpengaruh gamelan, seperti Leopold Godowsky, Maurice Ravel, Olivier Messiaen, Sir Michael Tippett, Lou Harisson, John Cage, Steve Reich, dan Philip Glass. Untuk itu hendaknya kita sebagai Bangsa Indonesia jangan meragukan lagi begitu membanggakannya musik dan tarian klasik/ tradisional yang ada di daerah penjuru Nusantara ini.
Don Campbell, 2002 dalam buku “Efek Mozart” bagi anak-anak meningkatkan daya pikir, kesehatan, dan kreativitas anak melalui musik. Campbell mengatakan bahwa menari dan bermain dapat mengeksplorasi emosi dalam usia delapan belas bulan hingga tiga tahun. Bertabuh dan bernyanyi bersama dapat menumbuhkan benih kreativitas pada usia tiga hingga empat tahun. Dan membahas irama pikiran dapat bermanfaat untuk belajar, mengingat, dan berekpresi pada usia enam hingga delapan tahun. Mozart Junior dapat menciptakan kesadaran atas Jati Diri pada usia delapan hingga sepuluh tahun. Dengan demikan kita bisa menggunakan gamelan atau musik tradisonal, nyanyian-nyanyian tradisional, serta tarian-tarian berkelompok tradisional dapat menjadikan solusi untuk menguatkan karakter generasi milenial yang dikenalkan dan dilatih sejak usia Sekolah Dasar.
Dengan memiliki daya karsa yang kuat, menuru Dr. Purwadi, M.Hum., dalam buku “Ensiklopedia Kebudayaan Jawa” menyatakan bahwa Karsa berarti kehendak, kemauan, keinginan atau tekad bulat untuk diwujudkan dalam kenyataan. Sehingga dengan demikian karsa berarti menunjukan sikap perjuangan yang kuat, cerminan dari optimistis tidak cepat menyerah. Diharapkan generasi muda memiliki sikap Kesatria yang kuat daya karsanya.
Menurut Sugianto, dalam bukunya memberdayakan potensi kaum muda, sikap kesatria itu sendiri menggambarkan sifat seseorang yang sportif. Dalam sikap ini seorang akan cenderung berani mengakui kesalahan, ataupun kegagalan yang dialaminya, juga berani mengakui keunggulan orang lain, mau mendengar kritik atau saran, bahkan bersedia meminta maaf bila dirinya melakukan kesalahan. Sehingga diharapkan seseorang yang bersikap kesatria akan memiliki potensi diri yang positif dan menyiapkan generasi milenial yang siap bersaing di era globalisasi.
(Oleh: Ahlis Widiyanto, S.Pd)